Ulasfakta – Kasus yang menimpa Juniyati, seorang warga Kabupaten Bintan yang permohonan paspornya ditolak meski telah membayar Rp350 ribu secara online, membuka diskusi baru tentang kebijakan non-refundable dalam sistem digitalisasi layanan imigrasi. Juniyati, yang mengajukan permohonan paspor baru untuk berlibur ke luar negeri, ditolak saat wawancara oleh petugas dengan alasan pernah tercatat sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Uang yang telah dibayarkan, menurut petugas, merupakan bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tidak dapat dikembalikan.
“Saya ingin liburan ke luar negeri, tapi paspor saya sudah lama mati. Saat wawancara dengan petugas, permohonan saya langsung ditolak karena pernah jadi PMI. Uang Rp350 ribu saya hangus,” ujar Juniyati, Jumat 21 Februari 2025.
Kepala Seksi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian (Tikkim) Kantor Imigrasi Kelas II TPI Tanjung Uban, Harry Setiawan, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut telah disusun untuk menjaga integritas data dan memastikan bahwa proses verifikasi berjalan sesuai dengan aturan.
“Jika dalam wawancara terdeteksi bahwa pemohon pernah menjadi PMI, penolakan dilakukan sesuai prosedur. Uang yang sudah masuk sebagai PNBP tidak bisa dikembalikan,” jelasnya.
Kasus ini mengangkat isu penting seputar transparansi dan perlindungan konsumen dalam era digital. Para pengamat menganggap bahwa meski kebijakan non-refundable telah ditetapkan untuk mengurangi beban administrasi, kasus seperti ini harus menjadi titik tolak untuk evaluasi lebih lanjut guna memastikan bahwa konsumen mendapatkan informasi yang jelas sebelum melakukan transaksi.
“Sistem digital memudahkan layanan, tetapi harus diimbangi dengan edukasi yang cukup bagi masyarakat mengenai aturan PNBP dan konsekuensinya. Kasus Juniyati menunjukkan bahwa masih ada celah informasi yang perlu diperbaiki agar tidak merugikan konsumen,” ujar seorang ahli kebijakan publik.
Pihak konsumen kini mendesak agar lembaga terkait meningkatkan komunikasi dan transparansi dalam setiap transaksi, sehingga setiap pemohon paspor memahami bahwa pembayaran PNBP bersifat final.
Sementara itu, pengaduan serupa telah mendorong diskusi mengenai perlunya mekanisme banding atau alternatif solusi bagi pemohon yang merasa dirugikan, terutama ketika terdapat kekeliruan administrasi.
Kasus Juniyati pun menjadi bahan pembicaraan di forum konsumen dan kelompok advokasi hak publik, yang menantikan perbaikan sistem di Kantor Imigrasi untuk melindungi hak-hak warga. Hingga kini, belum ada tindak lanjut mengenai revisi kebijakan, namun isu ini diprediksi akan memicu dialog nasional tentang perlindungan konsumen dalam layanan digital pemerintah.