Ulasfakta – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) Tanjungpinang kembali mencuat dan menjadi sorotan Ombudsman Kepulauan Riau (Kepri). Isu ini bukan pertama kali terjadi, melainkan bagian dari pola berulang yang menunjukkan lemahnya pengawasan dan reformasi di dalam lembaga pemasyarakatan.
Ketua Ombudsman Kepri, Lagat Siadari, menegaskan bahwa laporan mengenai pungli di Rutan Tanjungpinang telah diterima sejak beberapa tahun lalu. Meski telah diteruskan ke Kanwil Kemenkumham Kepri, kenyataan bahwa kasus serupa terus muncul menunjukkan adanya masalah mendasar yang belum diselesaikan.
“Kami sudah pernah mendapatkan laporan terkait pungli ini dan meneruskannya ke Kanwil Kemenkumham. Namun, jika isu ini kembali muncul, berarti ada yang salah dalam sistem pengawasannya,” kata Lagat.
Budaya Pungli: Dari Fasilitas Kamar hingga “Jasa” Petugas
Dugaan pungli di Rutan Tanjungpinang disebut mencakup berbagai aspek, mulai dari biaya mendapatkan kamar dengan fasilitas lebih baik, hingga “jasa” tertentu yang diberikan oleh petugas rutan kepada warga binaan.
Praktik semacam ini sudah lama menjadi isu di berbagai rutan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Dalam banyak kasus, warga binaan yang memiliki uang bisa mendapatkan perlakuan lebih baik dibandingkan mereka yang tidak mampu membayar.
Menurut seorang mantan narapidana yang enggan disebutkan namanya, praktik ini sudah menjadi “rahasia umum” di dalam rutan.
“Dari dulu sudah ada. Siapa yang bisa bayar lebih, bisa dapat kamar lebih layak, bisa lebih mudah mendapatkan akses keluar sel untuk bekerja di dapur atau bagian lainnya,” ungkapnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pungli bukan sekadar tindakan oknum, tetapi sudah menjadi bagian dari sistem yang sulit diberantas tanpa reformasi besar-besaran.
Lemahnya Pengawasan Internal dan Evaluasi yang Tidak Maksimal
Salah satu penyebab berulangnya kasus dugaan pungli ini adalah pengawasan internal yang lemah. Rutan dan lapas sering kali memiliki keterbatasan dalam hal transparansi, sehingga sulit bagi pihak luar untuk mengetahui secara pasti praktik apa yang terjadi di dalamnya.
Lagat menekankan bahwa pengawasan dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) harus lebih tegas dan serius dalam menangani dugaan praktik pungli ini.
“Jika memang tidak ada praktik pungli, harus dibuktikan dengan transparansi yang lebih baik. Tapi jika benar terjadi, tindakan tegas harus segera dilakukan agar kepercayaan publik tidak semakin tergerus,” katanya.
Perubahan Struktur Kemenkumham, Apakah Bisa Jadi Solusi?
Sejak restrukturisasi pemerintahan yang dilakukan awal tahun ini, Kanwil Kemenkumham Kepri kini berada di bawah naungan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenipas). Perubahan ini menimbulkan harapan adanya reformasi lebih serius dalam sistem pemasyarakatan, termasuk pemberantasan pungli.
Ombudsman Kepri mendesak agar struktur baru ini tidak sekadar perubahan administratif, tetapi benar-benar membawa solusi konkret terhadap masalah lama yang terus berulang.
“Jangan sampai perubahan ini hanya mengganti nama, tetapi praktik di lapangan tetap sama. Harus ada pengawasan lebih ketat dan kebijakan yang jelas agar pungli benar-benar bisa diberantas,” tegas Lagat.
Dengan kembali mencuatnya isu pungli di Rutan Tanjungpinang, pertanyaannya bukan lagi apakah praktik ini terjadi atau tidak, melainkan kapan pemerintah benar-benar bertindak tegas untuk mengakhirinya.