Kasus Korupsi Wisata Mangrove Bintan, Pengamat Hukum Soroti Aspek Keadilan Penegakan Hukum

Ulasfakta – Kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan wisata mangrove di Kabupaten Bintan kembali menjadi perhatian, tidak hanya karena jumlah tersangka yang mencapai tujuh orang, tetapi juga terkait penerapan hukum yang dinilai harus adil bagi semua pihak yang terlibat.
Dosen Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), C. Djisman Samosir, menegaskan bahwa dalam kasus suap, baik pemberi maupun penerima harus mendapatkan perlakuan hukum yang sama sesuai dengan Pasal 11 dan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
“Ini terkait suap. Jadi penerapannya harus adil, baik penerima maupun pemberi harus diproses dengan pasal yang sama,” ujar Samosir saat diwawancarai, Senin (3/3/2025).
Namun, ia juga menjelaskan bahwa kewenangan dalam menentukan pasal tuntutan berada di tangan jaksa, sesuai dengan prinsip Dominus Litis dalam hukum pidana. Artinya, jaksa memiliki hak penuh dalam menentukan siapa yang dituntut dan dengan pasal apa.
“Jika jaksa hanya menuntut penerima dan tidak pemberi, itu sah-sah saja. Jaksa tidak selalu wajib menerapkan pasal yang sama kepada keduanya,” jelasnya.
Meski demikian, Samosir menegaskan bahwa dalam kasus suap, sangat memungkinkan bagi jaksa untuk memproses kedua belah pihak secara bersamaan.
Restorative Justice untuk Kasus Korupsi Kecil?
Di sisi lain, Samosir juga menyinggung wacana yang diusulkan oleh Jaksa Agung terkait kasus korupsi dengan nilai di bawah Rp50 juta yang tidak perlu berujung pada hukuman kurungan. Menurutnya, jaksa dapat mempertimbangkan mekanisme Restorative Justice untuk kasus semacam itu.
“Jaksa boleh menerapkan Restorative Justice, sehingga ada kemungkinan tidak dilakukan penuntutan jika memenuhi syarat,” katanya.
Namun, dalam kasus wisata mangrove Bintan, yang terjadi selama periode 2017–2024, skala dugaan korupsi yang lebih besar membuat pendekatan ini kurang relevan.
Tujuh Pejabat Ditahan, Skandal Korupsi Mengemuka
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Bintan telah menahan tujuh pejabat terkait kasus ini. Mereka terdiri dari lima Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bintan serta dua kepala desa.
Kelima ASN yang ditahan adalah:
•Sri Heny Utami – Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bintan
•Julpri Ardani – Camat Teluk Sebong
•Herika Silvia – Mantan Camat Teluk Sebong sekaligus Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Bintan
•Khairuddin – Mantan Lurah Kota Baru
•Herman Junaidi – Mantan Pj Kades Sebong Lagoi
Sementara dua kepala desa yang turut ditahan adalah:
•Mazlan – Kepala Desa Sebong Lagoi
•La Anip – Mantan Kepala Desa Sebong Pereh
Mereka diduga terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan negara dalam pengelolaan dan kegiatan wisata mangrove Sungai Sebong.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 11 atau Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Dengan kasus ini, publik menantikan langkah lanjutan dari Kejari Bintan dalam menegakkan hukum, terutama apakah ada kemungkinan pihak pemberi suap juga akan ikut diproses sesuai dengan prinsip keadilan yang disuarakan oleh para pakar hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *