Ulasfakta – Putusan Pengadilan Niaga Medan yang menyatakan pengusaha Bandi pailit secara pribadi telah memicu kritik luas dari kalangan hukum dan pengamat bisnis. Kasus PKPU No. 23/Pdt.Sus-PKPU/2024/PN.Niaga.Mdn, yang dijatuhkan pada 6 Februari 2025, ternyata bukan hanya soal pengelolaan keuangan, melainkan juga menyingkap potensi manipulasi dalam sengketa keluarga dan kelemahan dalam proses hukum PKPU.
Penasihat hukum Bandi, Jun Fi, SH., CLA., CLI., CTA., bersama kuasa hukumnya, Karmin, SH., MH., mengajukan kasasi atas putusan tersebut. Mereka menilai bahwa dasar utang yang dijadikan alasan PKPU tersebut hanya berasal dari satu kreditor, Irman, yang merupakan kakak kandung Bandi. Tak hanya itu, Irman masih memegang tiga sertifikat tanah yang seharusnya dikembalikan sejak 2018, dengan nilai mencapai Rp45 miliar.
“Dugaan kejanggalan sudah jelas. Utang yang diklaim jauh lebih kecil nilainya dibandingkan dengan nilai sertifikat yang masih dipegang oleh Irman. Selain itu, pembayaran utang oleh adik-adik kami pada 2018 juga diabaikan dalam persidangan,” ungkap Jun Fi dalam keterangan tertulisnya, Senin 2025.
Lebih mengganjal, terdapat dugaan upaya manipulasi dengan memasukkan dua kreditor tambahan—yang disebut sebagai Cassie—untuk memenuhi syarat PKPU, serta penambahan bunga utang senilai Rp18 miliar tanpa perhitungan yang transparan. Semua ini memicu pertanyaan mendalam tentang integritas proses penghitungan utang dalam PKPU dan kemungkinan penyalahgunaan mekanisme hukum untuk memaksa pailitnya pihak tertentu.
Meskipun Bandi secara pribadi dinyatakan pailit, kuasa hukum menekankan bahwa kondisi keuangan Bandi sebenarnya sehat. Tim kurator telah mendata aset pribadinya yang bernilai lebih dari Rp100 miliar, yang menunjukkan bahwa Bandi mampu melunasi utangnya jika diberi kesempatan. Lebih jauh, kuasa hukum PT Panca Rasa Pratama, yang merupakan produsen Teh Prendjak dan afiliasi usaha Bandi, menegaskan bahwa operasional perusahaan tetap berjalan normal dan kasus ini bersifat murni persoalan pribadi dan keluarga.
Kasus ini tidak hanya mencerminkan perselisihan internal yang kompleks dalam keluarga bisnis, tetapi juga menjadi cermin bagi sistem hukum PKPU yang perlu reformasi agar lebih transparan dan adil. Para pengamat menyarankan agar regulator dan legislator segera mengevaluasi mekanisme penetapan utang dan penghitungan bunga dalam PKPU agar kasus serupa di masa depan dapat dihindari.
Dengan berjalannya proses kasasi, seluruh pihak menantikan putusan yang lebih adil yang tidak hanya menyelesaikan sengketa internal keluarga, tetapi juga memberikan efek jera bagi manipulasi proses hukum.