Ulasfakta – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Cindai menyoroti maraknya praktik mafia tanah yang terjadi di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Ketua Cindai Kepri, Edi Susanto, menyebut persoalan ini tidak lepas dari dugaan keterlibatan sejumlah oknum yang memiliki kewenangan dalam penerbitan surat kepemilikan lahan.
Menurut Edi, salah satu faktor yang memicu suburnya praktik mafia tanah adalah kelengahan sebagian masyarakat tempatan yang belum memiliki surat resmi atas lahan yang mereka tempati. Kondisi tersebut membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan manipulasi data dan dokumen.
“Ketika masyarakat tidak mengurus dokumen kepemilikan, oknum mafia lahan bisa saja masuk dan bermain mata dengan aparat desa hingga instansi pertanahan, termasuk BPN, untuk mengambil alih lahan warga,” ungkap Edi dalam keterangannya.
Ia juga menyoroti kurangnya transparansi dari pihak-pihak berwenang terkait status kepemilikan lahan. Menurutnya, baik pemerintahan desa maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya memberikan akses informasi yang terbuka mengenai status legalitas tanah di wilayah masing-masing.
“Pemetaan lahan harus jelas dan terbuka, agar masyarakat mengetahui mana yang sudah bersertifikat dan mana yang belum. Ini penting agar tidak ada lagi warga yang jadi korban pengambilalihan lahan secara ilegal,” tambahnya.
Edi turut menyinggung lemahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus mafia tanah, khususnya di wilayah Tanjungpinang dan Bintan. Ia menilai, penanganan kasus semacam ini masih tertutup dan belum menyentuh akar permasalahan.
“Kalau memang ada dua yurisdiksi berbeda antara Tanjungpinang dan Bintan, kenapa tidak diambil alih oleh Polda saja? Apalagi indikasi mafia tanah di Bintan justru lebih masif. Tapi penanganannya malah minim dan tertutup dari publik,” ujarnya.
Cindai mendorong aparat penegak hukum untuk bersikap transparan dan serius dalam memberantas praktik mafia tanah yang merugikan masyarakat, serta memastikan keadilan dan kepastian hukum bagi warga yang terdampak.