Ulasfakta.co – Sebanyak delapan kapal nelayan asal Pulau Bintan, yang meliputi Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan, ditangkap oleh aparat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dalam sebulan terakhir. Penangkapan ini terjadi setelah pemberlakuan pembatasan zona wilayah tangkap yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 11 Tahun 2023.
Dari delapan kapal yang ditangkap, enam di antaranya telah dibebaskan setelah membayar denda berjenjang antara Rp26 juta hingga Rp30 juta. Dana tersebut masuk ke kas daerah. Sementara itu, dua kapal lainnya masih dalam proses penahanan dan belum dibebaskan.
Ketua Forum Komunikasi Nelayan Nusantara (FKNN) Kota Tanjungpinang, Rudi Irwansyah, menyatakan bahwa penangkapan ini membuat para nelayan takut untuk melaut, yang berdampak pada menurunnya produktivitas mereka. Ia juga mengkritik pemberlakuan aturan pembatasan wilayah tangkap, mengingat ikan merupakan makhluk yang bermigrasi dan tidak menetap dalam satu kawasan.
Menurut peraturan yang berlaku, nelayan tidak diperbolehkan beraktivitas di atas 12 mil laut dari daratan atau pulau terdekat tanpa izin khusus. Untuk mendapatkan izin tersebut, nelayan harus memenuhi berbagai persyaratan, termasuk pemasangan Vessel Monitoring System (VMS), sebuah alat pemantau kapal yang harganya mencapai sekitar Rp6 juta. Biaya ini dianggap memberatkan oleh banyak nelayan tradisional.
Situasi ini menimbulkan dilema bagi nelayan di Kepulauan Riau, yang terbiasa melaut mengikuti musim dan pergerakan ikan. Pembatasan wilayah tangkap yang ketat dianggap tidak sesuai dengan karakteristik perikanan lokal dan dapat memicu konflik antar nelayan serta menurunkan kesejahteraan mereka.
Pemerintah diharapkan dapat meninjau kembali kebijakan ini dan mencari solusi yang lebih adil bagi nelayan tradisional, agar mereka dapat melaut dengan aman dan produktif tanpa terbebani oleh regulasi yang memberatkan.
Tinggalkan Balasan