Polemik penjualan lahan mangrove secara diam-diam di wilayah Area Penggunaan Lain (APL) Desa Sugie, Kabupaten Karimun, kepada perusahaan PT. Gurin Energy, memunculkan kegelisahan di tengah masyarakat. Dugaan keterlibatan oknum kelompok masyarakat hingga Kepala Desa setempat menimbulkan kekhawatiran terhadap lemahnya penegakan hukum dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan.

Praktik yang minim transparansi ini dianggap mencoreng upaya perlindungan lingkungan yang selama ini digaungkan. Bahkan, masyarakat mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah, khususnya Bupati Karimun, dalam menyikapi persoalan yang berpotensi merusak ekosistem mangrove dan menabrak aturan hukum.

Meski berada di kawasan APL, bukan berarti lahan mangrove bisa dipindahtangankan begitu saja tanpa kajian dan prosedur yang ketat. Ekosistem mangrove memainkan peranan penting dalam menjaga keseimbangan alam, mencegah abrasi, serta mendukung kehidupan masyarakat pesisir. Hal ini sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan Ekosistem Mangrove, yang menjadi dasar hukum bagi perlindungan kawasan tersebut.

Bupati Karimun diharapkan tidak tinggal diam. Ketegasan pemimpin daerah sangat dibutuhkan untuk memutus rantai penyalahgunaan wewenang dan tindakan semena-mena terhadap aset lingkungan. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin praktik serupa akan terus terulang dan merugikan masyarakat secara ekologis maupun sosial.

Sementara itu, PT. Gurin Energy sebagai pihak pembeli juga harus memberikan klarifikasi terbuka kepada publik. Perusahaan yang berinvestasi di daerah seharusnya tunduk pada prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan menghormati aturan yang berlaku. Ketertutupan mereka hanya akan menimbulkan spekulasi negatif dan kecurigaan terhadap proses akuisisi lahan tersebut.

Sofiandi Kordinator Masyarakat setempat sekaligus Pemerhati Lingkungan Menyoroti “Sikap pasif aparat penegak hukum (APH). Hingga kini belum ada kejelasan mengenai hasil penyelidikan yang sempat dilakukan terkait kasus ini. Publik menanti ketegasan hukum, bukan sikap diam. Jika terdapat pelanggaran, seharusnya ada tindakan nyata disertai keterbukaan informasi sebagai bentuk akuntabilitas”

Selain APH, instansi seperti Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga disorot karena tidak menunjukkan peran aktif dalam persoalan ini. Padahal, dua institusi ini memiliki kewenangan penting dalam pengawasan dan tata kelola lahan serta kawasan hutan. Keterlibatan mereka seharusnya menjadi bagian dari solusi, bukan justru membiarkan persoalan menggantung.

Kini, bola ada di tangan Bupati Karimun. Publik menantikan langkah konkret: investigasi menyeluruh, penegakan hukum terhadap pihak yang terlibat, dan perlindungan maksimal terhadap kawasan mangrove. Bupati tidak boleh abai. Ini bukan sekadar soal lahan, tapi tentang masa depan lingkungan dan kepastian hukum di Kabupaten Karimun. Jangan biarkan kepercayaan masyarakat tergerus oleh pembiaran dan ketidaktegasan. Ujar Sofiandi