Ulasfakta— Pemerintah Kabupaten Bintan kembali disorot setelah ditemukan potensi kerugian negara mencapai Rp643 juta akibat kelalaian dalam pengawasan dan penarikan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Realisasi penerimaan pajak dari sektor ini memang melebihi target, namun fakta di lapangan menunjukkan lemahnya kontrol dan akuntabilitas dari pihak terkait.
Berdasarkan data resmi, sepanjang tahun 2024 Pemkab Bintan menargetkan penerimaan pajak MBLB sebesar Rp20,99 miliar dan terealisasi hingga Rp21,99 miliar atau 104,53 persen dari target.
Namun di balik angka “sukses” itu, ditemukan fakta bahwa salah satu perusahaan tambang aktif, PT BMS, tidak melaporkan seluruh volume hasil produksi tambangnya hingga akhir 2024, yang justru menjadi sumber potensi kebocoran penerimaan negara.
Berdasarkan data yang dimiliki redaksi mengungkap bahwa laporan produksi PT BMS beroperasi penuh hingga akhir 2024.
Tak hanya itu, laporan bulanan maupun triwulanan yang menjadi kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan nasional maupun daerah, tidak ditemukan dalam dokumen pemeriksaan.
Pemerintah daerah sendiri sempat menetapkan harga dasar pajak sebesar Rp100.000 per meter kubik (harga atas) dan Rp80.000 (harga bawah).
Namun, data volume produksi yang tidak lengkap membuat penghitungan pajak terutang menjadi tidak akurat, dan berpotensi menyebabkan kerugian pendapatan daerah sebesar Rp643.094.000.
Kondisi ini dinilai melanggar ketentuan dalam:
PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang pelaporan kegiatan pertambangan, Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2023 tentang penyampaian RKAB dan laporan pelaksanaan.
Serta Perbup Bintan Nomor 26 Tahun 2024 yang secara tegas menyebutkan bahwa pelunasan pajak MBLB bersifat bulanan dan wajib berdasarkan volume aktual produksi.
Ironisnya, meskipun perusahaan tetap beroperasi, tidak ada tindakan tegas atau penagihan lanjutan oleh pemerintah daerah, seolah-olah produksi “dibiarkan” tanpa pengenaan pajak.
Kondisi ini memunculkan dugaan pembiaran dan potensi praktik maladministrasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Padahal sektor tambang merupakan salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan seharusnya dikelola dengan penuh integritas dan transparansi.
Pengawasan yang lemah, minimnya verifikasi data produksi, serta tidak tegasnya sanksi kepada pelaku usaha tambang telah membuka celah besar kebocoran pajak.
Jika dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin jumlah kerugian akan terus membengkak dari tahun ke tahun.
Sebelumnya, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bappenda) Kabupaten Bintan Mohd. Setioso mengatakan bahwa PT BMS terus melakukan pembayaran pajak.
“Mereka (PT BMS) membayar pajak tiap bulan, kami mengira pembayaran pajak tersebut ketika barang terjual bukan ketika ditambang yang akan menjadi stock file,” ucap kepala Bappenda Bintan pada, Jumat (1/8).
Ia juga mengatakan bahwa ada kesalahan komunikasi antara pemerintah daerah dan pemerintah provinsi Kepri.
“Pemerintah daerah dan Pemerintah Provinsi ada sedikit miss komunikasi terkait pembayaran pajak yang semestinya,” ungkapnya lagi.
Setioso juga menegaskan bahwa PT BMS berkomitmen akan melunasi tunggakan pajak dalam waktu 6 bulan kedepan.
“PT BMS ke Pemerintah daerah sudah sepakat akan segera melunasi tunggakan pajak dalam waktu 6 bulan kedepan,” tutupnya.
Tinggalkan Balasan