Ulasfakta – Masalah stunting atau anak pendek akibat kekurangan gizi masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Bukan hanya soal tinggi badan, stunting juga berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia di masa depan.

Kepala Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Tanjungpinang, Rustam, SKM, M.Si, menyebutkan stunting berhubungan erat dengan meningkatnya risiko sakit, kematian, perkembangan otak yang tidak optimal hingga hambatan dalam pertumbuhan mental anak.

“Stunting tidak hanya membuat anak lebih pendek, tapi juga memengaruhi kecerdasan, prestasi akademik, bahkan meningkatkan risiko obesitas dan penyakit degeneratif di masa dewasa,” ujar Rustam, Rabu (13/8/2025) di Tanjungpinang.

Menurutnya, kondisi ini berawal dari kekurangan nutrisi yang berlangsung lama, sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Periode tersebut dikenal sebagai 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), masa emas yang sangat menentukan kualitas tumbuh kembang seorang anak.

Rustam menegaskan, pemenuhan gizi pada periode emas ini bersifat permanen. Artinya, jika terlewat, dampaknya tidak bisa dikoreksi di kemudian hari. Karena itu, intervensi harus dilakukan sejak dini, baik melalui pola makan sehat, pola asuh yang tepat, maupun layanan kesehatan yang memadai.

Tenaga Kesehatan sedang melakukan edukasi kepada keluarga terkait pencegahan stunting termasuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD), ASI Eksklusif 6 bulan, memberikan makanan pendamping ASI sejak usia6 bulan (MP-ASI) dan yang terakhir melanjutkan pemberian ASI sampai dengan usia 2 tahun. (Foto: Ist)

Tren Penurunan Stunting

Dalam empat tahun terakhir, Tanjungpinang berhasil mencatat penurunan signifikan angka stunting. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting menurun dari 18,8 persen pada 2021 menjadi hanya 12,9 persen pada 2024.

Penurunan juga tampak pada data ePPGBM per Mei 2025. Dari 11.443 balita yang diukur, hanya 295 anak atau 2,58 persen yang tercatat stunting. Meski begitu, Rustam mengingatkan masih ada kelurahan dengan angka cukup tinggi, seperti Tanjung Unggat (4,73 persen) dan Kampung Bugis (4,97 persen).

“Ini menjadi fokus kami. Ada tujuh kelurahan yang sudah di bawah 1 persen, tapi di beberapa titik lain perlu kerja ekstra,” jelas Rustam.

Upaya menekan stunting dilakukan melalui intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik lebih banyak dijalankan sektor kesehatan, seperti imunisasi, pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil dan balita, pemantauan tumbuh kembang anak di Posyandu, suplemen tablet besi untuk ibu hamil, serta promosi ASI eksklusif.

Sementara intervensi sensitif melibatkan sektor lain di luar kesehatan, misalnya penyediaan air bersih, sanitasi, ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, hingga pendidikan kesehatan dan gizi. Semua dilakukan dengan pendekatan lintas sektor.

Ada 11 intervensi spesifik yang dijalankan Tanjungpinang. Empat di antaranya sudah tercapai dengan baik pada 2024, yakni skrining anemia pada remaja putri (95,6 persen), konsumsi tablet tambah darah pada ibu hamil (90 persen), anak usia 6–23 bulan yang mendapat MP-ASI (91,4 persen), serta tata laksana balita gizi buruk (100 persen).

Tenaga Kesehatan sedang melakukan edukasi kepada keluarga terkait pencegahan stunting termasuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD), ASI Eksklusif 6 bulan, memberikan makanan pendamping ASI sejak usia6 bulan (MP-ASI) dan yang terakhir melanjutkan pemberian ASI sampai dengan usia 2 tahun. (Foto: Ist)

Namun, tujuh intervensi lainnya masih perlu ditingkatkan. Termasuk konsumsi tablet tambah darah pada remaja putri, kunjungan ANC minimal enam kali, tambahan asupan gizi bagi ibu hamil kurang energi kronis, ASI eksklusif, serta pemantauan pertumbuhan balita.

Rustam menuturkan, ke depan pihaknya akan memperkuat kerja sama dengan sekolah melalui program Aksi Bergizi. Dalam kegiatan ini, remaja putri diajak sarapan sehat, olahraga bersama, minum tablet tambah darah, sekaligus mendapat edukasi gizi secara rutin.

Langkah lain adalah memperkuat layanan kesehatan ibu hamil. Kini, seluruh puskesmas di Tanjungpinang sudah dilengkapi USG dan laboratorium untuk mendukung pemeriksaan sejak trimester pertama.

Dinkes juga mengoptimalkan kelas ibu hamil, konseling menyusui, hingga pelatihan kader posyandu. Harapannya, ibu hamil dan balita semakin dekat dengan layanan kesehatan, dan masyarakat merasa posyandu benar-benar memberi manfaat nyata.

Selain itu, Rustam juga mendorong keterlibatan lintas sektor, mulai dari TP PKK, kader keluarga, hingga lembaga sosial seperti Baznas, untuk mendukung gizi ibu hamil dan balita. Dukungan ini penting agar tambahan asupan gizi bisa lebih terjamin.

“Kunci penurunan stunting adalah kolaborasi. Dinas Kesehatan tidak bisa bekerja sendiri. Kami butuh peran sekolah, puskesmas, keluarga, kader, hingga tokoh masyarakat,” kata Rustam.

Dengan berbagai langkah itu, Rustam optimistis prevalensi stunting di Tanjungpinang bisa terus ditekan hingga mendekati nol persen. “Kami ingin memastikan generasi Tanjungpinang tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing tinggi,” tutupnya.