Ulasfakta – Ajang lomba fotografi dalam rangka peringatan Hari Bhayangkara ke-79 yang digelar oleh panitia dari Polda Kepri kini menuai sorotan, dengan jumlah peserta yang lomba sebanyak 39 fotografer profesional.
Beberapa peserta menyoroti dugaan ketimpangan dalam proses penilaian dan pengumuman pemenang lomba, terutama terkait pelanggaran aturan yang sudah ditetapkan panitia sejak awal kompetisi diumumkan.
Dalam pesan resmi yang dibagikan panitia lomba melalui grup WhatsApp peserta, diumumkan nama-nama pemenang sebagai berikut:
• Juara I: RI (Umum)
• Juara II: RAP (Polri)
• Juara III: A (Umum)
• Harapan I: DS (Polri)
Namun, pengumuman tersebut langsung mendapat sorotan dari beberapa peserta dan pengamat fotografi lokal karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan lomba yang sebelumnya telah disepakati bersama.
Dugaan Pelanggaran Aturan Lomba
Beberapa dugaan pelanggaran yang disorot antara lain:
1. Penggabungan Kategori Tanpa Penjelasan
Dalam syarat dan ketentuan poin 1, disebutkan bahwa lomba dibagi menjadi dua kategori: Umum dan Polri.
Namun, pada hasil yang diumumkan, tidak terlihat adanya pembagian kategori tersebut. Seluruh pemenang diumumkan tanpa klasifikasi, seolah-olah kedua kategori digabungkan menjadi satu.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kejelasan dan transparansi penilaian.
2. Pelanggaran Jumlah Karya yang Dikirim
Berdasarkan poin 5 dalam syarat lomba, setiap peserta hanya diperbolehkan mengirimkan satu karya foto.
Namun, dari bukti file yang dikirimkan panitia ke grup, diketahui bahwa beberapa pemenang termasuk Juara I, II, dan III mengirimkan lebih dari satu karya.
Hal ini secara teknis harusnya menyebabkan diskualifikasi.
3. Foto yang Diduga Disetting dan Tidak Mencerminkan Kegiatan Nyata
Kritikan paling tajam datang dari dugaan bahwa karya-karya pemenang merupakan hasil rekayasa atau foto setingan yang tidak menggambarkan kegiatan nyata institusi Polri.
Beberapa pihak menyebut bahwa foto tersebut “difabrikasi” demi menciptakan kesan tertentu yang tidak sesuai dengan fakta lapangan.
“Kalau benar itu foto settingan dan kegiatan fiktif, artinya Polri sendiri sedang membenarkan kebohongan. Ini fatal,” ujar salah satu peserta yang meminta namanya tidak disebutkan.
Ia menambahkan bahwa apabila kegiatan dalam foto itu memang benar, seharusnya bisa diverifikasi melalui laporan kegiatan resmi di masing-masing Polres atau institusi terkait.
Tuntutan Transparansi dan Pertanggungjawaban
Kritik dari peserta lomba dan masyarakat mengarah kepada panitia lomba yang dinilai lalai dan tidak profesional dalam melakukan penilaian serta verifikasi karya.
Beberapa meminta agar hasil lomba ditinjau ulang, bahkan dibatalkan apabila terbukti melanggar aturan yang telah ditetapkan.
“Panitia harus bertanggung jawab. Bagaimana masyarakat bisa percaya pada institusi sebesar Polri jika hal sekecil ini saja tidak dikelola dengan benar?” tegas seorang fotografer senior yang mengikuti lomba tersebut.
Beberapa pihak juga menyerukan agar pihak Humas Panitia Lomba Fotografi melakukan klarifikasi dan, bila perlu, investigasi untuk memastikan apakah kegiatan yang tergambar dalam foto-foto pemenang benar-benar pernah dilakukan.
Harapan Peserta Lomba
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi institusi manapun yang menggelar lomba serupa di masa depan.
Bukan hanya soal estetika foto, tapi juga integritas proses dan akurasi fakta yang ditampilkan dalam karya.
Di tengah upaya Polri membangun kepercayaan publik, transparansi dan keteladanan dalam hal-hal kecil seperti ini sangat menentukan citra institusi di mata masyarakat.
Hingga pemberitaan ini terbit, pihak redaksi Ulasfakta masih berusaha untuk konfirmasi terhadap pemberitaan diatas.