Ulasfakta.co – Kasus dugaan penyimpangan dan pelanggaran di Lapas Kelas II A Tanjungpinang mengungkapkan sisi kelam dari kondisi di dalam lapas.
Berdasarkan kesaksian dari salah seorang warga binaan yang baru saja keluar, sejumlah praktik meresahkan terungkap, mulai dari distribusi makanan yang tidak layak, penyebaran barang terlarang, hingga pungutan liar. Berikut hasil investigasi yang merinci beberapa aspek dari kesaksian yang diperoleh.
1. Kondisi Makanan dan Air Minum Tidak Memadai
Menurut pengakuan narasumber, makanan yang disediakan selama masa karantina awal tampak tidak memenuhi standar layak konsumsi.
“Saya pikir anggaran negara sudah mencukupi untuk makanan di lapas, tetapi ternyata kondisinya memprihatinkan. Makanan disajikan dalam wadah seadanya dan tidak higienis, sedangkan air minum berasal dari keran perigi yang kualitasnya sangat diragukan,” ujarnya pada, selasa sore (5/11).
Selama masa tahanan, makanan yang diberikan tiga kali sehari terbatas pada menu yang berulang, seperti ikan, telur, dan ayam, namun kualitas dan kebersihannya dipertanyakan. Hal ini bertolak belakang dengan standar yang seharusnya diberikan kepada para warga binaan untuk menjamin kesehatan dan kebersihan mereka.
2. Perlakuan Diskriminatif Terhadap Warga Binaan Lansia
Narasumber juga mengungkapkan adanya penempatan warga binaan lansia di blok tertentu dengan kondisi yang tidak memadai.
Blok khusus untuk lansia seharusnya diperlakukan berbeda dengan fasilitas yang mendukung kondisi kesehatan mereka, namun praktik diskriminatif justru dirasakan di lapas ini.
Selama empat bulan di Blok B, narasumber menyaksikan perlakuan terhadap lansia yang kurang memadai hingga akhirnya dipindahkan ke Blok G tanpa perubahan signifikan.
3. Penyebaran dan Penjualan Barang Terlarang
Kejadian yang mengkhawatirkan adalah kemunculan barang-barang terlarang, termasuk narkotika jenis sabu-sabu (SS), yang diduga diperjualbelikan oleh sejumlah warga binaan.
Salah seorang warga binaan mengaku pernah ditawari barang terlarang tersebut, dan transaksi ini tampaknya telah menjadi praktik terbuka di kalangan penghuni lapas.
Bahkan, terjadi insiden penikaman antara warga binaan yang diduga berawal dari masalah utang-piutang terkait pembelian narkoba. Kekerasan ini, menurut keterangan warga binaan lainnya, cukup sering terjadi dan diduga terkait dengan hutang barang terlarang tersebut.
4. Peredaran Telepon Genggam dan Alat Komunikasi Lainnya
Meski penggunaan telepon genggam dilarang di dalam lapas, narasumber menyatakan bahwa hampir 40% warga binaan memiliki akses ke alat komunikasi, termasuk telepon genggam.
Praktik ini berlanjut meskipun telah diadakan razia secara berkala. Menariknya, ketika hasil razia dipublikasikan di media sosial lapas, hanya beberapa kabel atau barang elektronik kecil yang diperlihatkan, bukan telepon genggamnya.
Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa ada oknum di dalam lapas yang terlibat dalam praktik pembiaran atau bahkan memfasilitasi penyelundupan telepon genggam.
5. Kantin dengan Harga Tinggi dan Praktik Pungli
Kantin di lapas menyediakan barang kebutuhan sehari-hari bagi warga binaan, tetapi harga yang ditawarkan jauh lebih tinggi dibandingkan harga di luar. Kantin ini seolah menjadi “mini market” dengan harga yang mencekik, memaksa warga binaan yang tak mampu secara finansial harus menguras uang mereka atau meminta dukungan finansial dari keluarga. Situasi ini membuat warga binaan yang berasal dari golongan ekonomi rendah semakin terbebani.
Selain itu, terdapat informasi mengenai praktik pungutan liar (pungli) yang merugikan warga binaan. Warga binaan diduga harus membayar sejumlah uang untuk mendapatkan fasilitas tertentu atau untuk menghindari sanksi yang lebih berat.
6. Sistem Hukuman dan Dugaan Transaksi untuk Menghindari Sanksi
Ada juga kesaksian mengenai sanksi tambahan bagi warga binaan yang kedapatan melakukan tindakan penipuan dengan menggunakan telepon genggam.
Para pelaku yang tertangkap sering kali diisolasi dalam “kamar gelap” atau sel khusus sebagai bentuk hukuman. Namun, narasumber menduga bahwa sejumlah pelanggaran dapat dinegosiasikan dengan oknum petugas sehingga warga binaan yang memiliki akses finansial dapat menghindari sanksi lebih lanjut. Dugaan ini mencerminkan lemahnya penegakan aturan di dalam lapas, yang memungkinkan adanya “perdagangan hukuman.”
Kesimpulan dan Tanggapan Pihak Terkait
Kasus ini memperlihatkan adanya masalah mendalam di Lapas Kelas II A Tanjungpinang yang memerlukan perhatian serius dari pihak berwenang.
Praktik-praktik miris yang melibatkan distribusi makanan, akses alat komunikasi ilegal, penjualan barang terlarang, dan praktik pungutan liar menunjukkan bahwa tata kelola di dalam lapas perlu ditinjau ulang dan diawasi lebih ketat.
Lapas Kelas II A Tanjungpinang diharapkan segera menanggapi laporan ini dan memberikan klarifikasi kepada publik. Reformasi dalam manajemen lapas, peningkatan standar makanan, penanganan air minum, serta pengawasan terhadap transaksi ilegal dan alat komunikasi di dalam lapas menjadi langkah penting untuk memastikan hak-hak warga binaan serta menciptakan lingkungan rehabilitasi yang sesuai dengan tujuan pemasyarakatan.
Hingga pemberitaan ini terbit, redaksi indopost masih berusaha segera konfirmasi terhadap peristiwa diatas.
(Ap/Ind)