Oleh: Adiya Prama Rivaldi, Ketua Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau

Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara, satu per satu fakta kembali menguak betapa hukum di negeri ini kerap ditekuk demi melindungi kekuasaan.

Kasus Hasan, mantan Camat Bintan Timur yang kini menjabat Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kadis Kominfo) Kepulauan Riau (Kepri), menjadi contoh vulgar bagaimana hukum bisa dijadikan alat tawar-menawar di balik meja gelap.

Hasan bersama dua rekannya—Muhammad Ridwan dan Budiman—telah ditetapkan sebagai tersangka sejak awal 2024 atas dugaan pemalsuan surat tanah di Kelurahan Sei Lekop, Kecamatan Bintan Timur.

Mereka dijerat Pasal 263 dan 264 KUHP, dengan ancaman pidana delapan tahun penjara. Namun kini, wacana penghentian perkara (SP3) mencuat dengan dalih “restorative justice” usai tercapainya perdamaian dengan pelapor. Ini bukan hanya penghinaan terhadap akal sehat, tapi juga pelecehan terhadap prinsip keadilan.

Pemalsuan Terstruktur dan Penyalahgunaan Jabatan

Kasus ini bukan perkara sepele. Ini bukan kelalaian administratif, melainkan kejahatan terencana yang dilakukan oleh pejabat publik. Hasan dan rekannya menerbitkan 19 Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) palsu, dua di antaranya atas nama Hasan sendiri. Surat-surat itu digunakan untuk transaksi jual-beli lahan seluas 3,7 hektare senilai miliaran rupiah.

Lebih dari itu, Hasan aktif mencarikan pembeli dan mengatur transaksi melalui jaringan rekanannya. Dari praktik ini, ia diduga meraup keuntungan pribadi sebesar Rp115 juta. Ini jelas bentuk korupsi jabatan: penyalahgunaan wewenang demi memperkaya diri.

Ironisnya, meski bukti dan saksi telah lengkap, aparat justru mulai mencari celah untuk “menyelamatkan” Hasan. Padahal gelar perkara sudah digelar sejak 2022, saksi telah diperiksa, dan berkas sempat dinyatakan lengkap oleh kejaksaan, hanya tinggal perbaikan minor.

Restorative Justice: Dalih Palsu Menutupi Kejahatan

Jalan menuju SP3 kini dibuka dengan alasan perdamaian. Tapi mari kita luruskan.

Pertama, restorative justice tidak dapat diterapkan untuk kasus berat. Pedoman Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI menyatakan RJ hanya berlaku bagi tindak pidana ringan, dengan ancaman di bawah lima tahun dan kerugian maksimal Rp2,5 juta. Kasus Hasan jelas tidak memenuhi syarat.

Kedua, pemalsuan dokumen negara adalah delik umum. Perdamaian antara pelapor dan tersangka tidak menggugurkan kewajiban penegakan hukum. Apalagi bila kejahatan dilakukan oleh pejabat dan berdampak pada kepentingan publik.

Ketiga, penerapan RJ dalam kasus ini justru menciptakan preseden berbahaya: pejabat yang memalsukan dokumen dan mengambil untung pribadi malah dicarikan jalan pintas menuju kebebasan. Apakah ini bentuk “solidaritas elit” di antara mereka yang berkuasa?

Ketika Institusi Hukum Dipertaruhkan

Jika perkara Hasan dihentikan, publik patut bertanya: untuk siapa hukum ditegakkan? SP3 atas kasus ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum positif, tapi juga pengkhianatan terhadap rasa keadilan masyarakat.

Bagaimana mungkin pemalsu dokumen negara dilindungi, sementara rakyat kecil pencuri ayam bisa langsung diborgol? Bagaimana mungkin pejabat yang menyalahgunakan jabatan tetap duduk nyaman di kursi pemerintahan tanpa sanksi etik atau administratif?

Jika aparat penegak hukum tunduk pada tekanan politik, mereka tidak hanya mencederai institusinya, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik yang selama ini tersisa.

Tuntaskan Hingga Pengadilan

Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (JPKP Kepri) menyatakan sikap tegas dan mendesak:

1. Kapolri dan Kabareskrim agar mengambil alih dan mengawasi langsung proses hukum ini demi menjaga marwah institusi kepolisian.

2. Kejaksaan Agung agar menolak seluruh upaya restorative justice dan mendorong kasus ini hingga meja pengadilan.

3. Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, agar menonaktifkan Hasan dari jabatannya sebagai bentuk komitmen terhadap pemerintahan yang bersih.

4. Kompolnas, Ombudsman, dan KPK untuk turun langsung memantau potensi pelanggaran etik dan penyimpangan prosedur dalam penanganan kasus ini.

Jika Hasan Lolos, Hukum Telah Mati

Kasus ini adalah ujian bagi supremasi hukum di Kepulauan Riau, bahkan Indonesia. Jika Hasan lolos hanya karena perdamaian semu, maka kita hidup bukan dalam negara hukum, melainkan negara kompromi. Di mana hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Biarlah opini ini menjadi suara keras masyarakat sipil: Kami menolak SP3. Kami menolak restorative justice palsu. Kami menolak pemutihan dosa melalui kekuasaan.

Hasan harus diadili, bukan dilindungi. Jika hukum tak lagi bisa dipercaya, maka masyarakat akan mengambil peran lebih besar untuk mengawasi dan melawan.