Prolog: Sebuah Kalimat yang Menggema di Lapangan Upacara
Di banyak lapangan desa di Indonesia, setiap 17 Agustus kita mendengar teriakan “Merdeka!” Anak-anak lomba makan kerupuk, bendera dikibarkan, dan pidato pejabat menggema. Namun, di sela itu, ada satu kalimat yang terus menghantui saya:
“Kemerdekaan itu nasi. Dimakan jadi tai.”
Kalimat itu bukan sekadar olok-olok kasar. Ia adalah simbol perlawanan, lahir dari mulut seorang penyair rakyat bernama Wiji Thukul. Kata-kata itu ia bacakan dalam perayaan kemerdekaan di kampungnya, Solo, tahun 1982. Orang-orang geger, lurah marah, aparat mulai mencatat namanya. Tapi bagi Wiji, itu adalah suara hati rakyat kecil—kemerdekaan yang dielu-elukan negara, tapi tidak dirasakan di perut rakyat.
Fragmen I: Anak Kampung Sorogenen
Wiji lahir dengan nama Wiji Widodo di Kampung Sorogenen, Solo, pada 26 Agustus 1963. Ayahnya, seorang tukang becak; ibunya, penjual makanan sederhana. Hidup pas-pasan membuat Wiji merasakan sejak kecil bahwa “merdeka” tidak sama dengan kenyang.
Meski sempat sekolah di SMKI jurusan tari, ia terpaksa berhenti pada 1982 karena tak sanggup membayar biaya. Ia lalu bekerja apa saja: jualan koran, calo karcis bioskop, sampai tukang pelitur di toko mebel. Tapi satu hal tak pernah ia lepaskan: menulis puisi.
Dari kampung ke kampung, Wiji membacakan puisinya. Bukan di gedung mewah atau panggung besar, melainkan di depan warga, buruh, petani, tukang becak, dan pedagang kecil. Ia ingin kata-katanya hidup di tengah rakyat, bukan di ruang elite.
Fragmen II: Puisi yang Menjadi Peluru

Puisinya bukan romantika kosong. Judul-judul seperti “Aku Ingin Menjadi Peluru atau Peringatan” mencerminkan perlawanan keras terhadap ketidakadilan. Baginya, puisi adalah senjata, kata-kata adalah peluru.
Ketika ia melantunkan “Kemerdekaan itu nasi. Dimakan jadi tai”, ia bukan sedang bermain kata. Ia sedang menampar wajah kekuasaan. Bagi rakyat seperti keluarganya, kemerdekaan yang diwarisi dari proklamasi 1945 hanya berhenti pada simbol—sementara perut tetap lapar, tanah tetap dirampas, suara tetap dibungkam.
Wiji menyadari, kemerdekaan tanpa kesejahteraan hanyalah upacara tanpa isi. Maka puisinya selalu menggugat: siapa yang benar-benar menikmati kemerdekaan?
Fragmen III: Aktivis yang Hilang
Seiring waktu, Wiji tak hanya jadi penyair. Ia turun langsung mendampingi buruh, petani, dan warga miskin kota. Ia ikut menyusun selebaran, memimpin demonstrasi, dan menghadapi represi aparat.
Orde Baru mencatat namanya sebagai ancaman. Ia diawasi, ditangkap, dipukul, lalu dilepaskan lagi. Namun Wiji tak pernah berhenti. Dalam banyak aksinya, ia selalu berkata, “Hanya ada satu kata: lawan!”
Pada 1998, menjelang tumbangnya rezim, Wiji menghilang. Istrinya, Sipon, bersama anak-anaknya, Fitri dan Fajar, terus mencari. Namun hingga kini, tubuh Wiji tak pernah ditemukan. Ia menjadi salah satu dari orang hilang 1998—korban kekerasan negara yang tak pernah kembali.
Fragmen IV: Relevansi di Usia Kemerdekaan ke-80
Kini, 2025. Indonesia merayakan usia 80 tahun kemerdekaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 menunjukkan:
Masih ada 23,85 juta penduduk miskin, dengan garis kemiskinan hanya sekitar Rp15 ribu per orang per hari untuk kebutuhan pangan.
Kemiskinan ekstrem memang turun jadi 0,85%, tapi tetap berarti ada lebih dari 2,3 juta orang yang hidup di bawah batas paling dasar.
Di perkotaan, angka kemiskinan justru naik menjadi 6,73%.
Di sisi lain, kasus tanah seperti di Dago Elos, Bandung, atau perampasan lahan adat di Kalimantan, membuktikan bahwa penjajahan belum sepenuhnya hilang—hanya berganti rupa.
Apakah ini wajah kemerdekaan yang dibayangkan oleh para pejuang 1945? Atau justru cerminan kata Wiji: kemerdekaan hanyalah nasi yang sudah jadi tai?
Fragmen V: Menghidupkan Kembali Wiji
Wiji memang hilang, tapi ia tidak mati. Puisinya dibaca di kampus, dinyanyikan oleh anaknya Fajar Merah, diteriakkan di jalan oleh para aktivis, dan diingat oleh rakyat kecil yang terus berjuang.
Bagi mereka, Wiji bukan sekadar penyair—ia adalah simbol keberanian untuk berkata jujur, meski taruhannya adalah nyawa. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan sejati tidak bisa hanya diucapkan, tapi harus dirasakan dalam perut kenyang, tanah yang aman, dan suara rakyat yang bebas.
Epilog: Warisan yang Tak Pernah Hilang
Hari ini, di usia kemerdekaan ke-80, kita masih berdiri di persimpangan: merayakan bendera, atau menegakkan arti?
Jika kita hanya merdeka dalam seremoni, maka benar kata Wiji: “kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tai.”
Tetapi jika kita menjadikan kemerdekaan sebagai perjuangan bersama untuk keadilan sosial, maka nasi itu bisa menjadi tenaga, bukan sekadar ampas.
Tak hanya itu, sebagai rakyat di bangsa yang besar kebebasan berpendapat masih saja menjadi kesulitan yang didapatkan. Hingga saat ini, arogansi aparat yang kerap kali dialami para aktivis masih terjadi di era modern.
Mungkin Wiji tak hadir di lapangan upacara, tapi suaranya ada di setiap hati yang berani bertanya: Merdeka untuk siapa?
Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Merdeka bukan sekadar kata—merdeka adalah keberanian untuk terus melawan ketidakadilan.
Oleh: Yuki Vegoeista, Kabid PTKP HMI Cabang Tanjungpinang-Bintan
Tinggalkan Balasan