Ulasfakta – Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Riau, Distrawandi, mengkritisi kebijakan penerapan Vessel Monitoring System (VMS) atau sistem pemantauan kapal bagi nelayan, khususnya di kawasan perbatasan. Ia menilai kebijakan tersebut justru menambah beban ekonomi nelayan, bukan solusi keselamatan seperti yang sering diklaim pemerintah.
Dalam keterangannya, Minggu (1/6/2025), Distrawandi menyampaikan bahwa berdasarkan hasil kunjungannya ke lapangan dan dialog langsung dengan nelayan di berbagai daerah, mayoritas nelayan menyatakan penolakan terhadap kewajiban penggunaan VMS.
“Kami turun ke lapangan, dan hampir semua nelayan menolak migrasi data kapal serta pemasangan VMS. Ini dianggap hanya sebagai pemaksaan untuk membeli perangkat, bukan solusi bagi nelayan,” tegasnya.
Menurut Distrawandi, selain mahalnya harga perangkat yang dikabarkan berkisar antara Rp7 juta hingga belasan juta rupiah, biaya airtime tahunan sebesar Rp6,5 juta juga dinilai membebani operasional nelayan kecil.
“Banyak pelaku usaha perikanan yang sekarang pakai VMS itu karena merasa dipaksa, bukan karena keinginan sendiri,” lanjutnya.
Ia juga mempertanyakan efektivitas VMS dalam praktik di laut. Menurutnya, fungsi VMS sebagai alat pelacak dalam kondisi darurat dinilai tidak lebih baik dibanding sistem komunikasi tradisional yang selama ini digunakan nelayan, seperti radio dan jaringan komunikasi antar kapal.
“Selama ini kalau nelayan kesusahan di laut, yang bantu ya sesama nelayan. Bukan kapal patroli. Kalau pun datang, biasanya pas cuaca sudah tenang dan nelayan sudah jadi mayat,” katanya dengan nada geram.
Lebih jauh, Distrawandi menilai penerapan VMS hanya bermanfaat bagi instansi pengawasan seperti PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan), untuk memantau gerak kapal. Namun manfaat tersebut tidak langsung dirasakan oleh nelayan kecil yang beroperasi di perairan dalam negeri.
“Kalau tujuannya mau pantau kapal asing, jangan nelayan kita yang dijadikan objek kebijakan. Justru kapal asing yang selama ini merusak laut Natuna itu yang harus diawasi ketat,” katanya.
Ia pun meminta agar kebijakan ini dikaji ulang dan tidak hanya berpijak pada masukan dari nelayan-nelayan di daerah tertentu saja seperti Bintan dan Tanjungpinang. Wilayah dengan perairan luas seperti Lingga dan Natuna, menurutnya, juga harus dilibatkan.
“Banyak kapal kecil 6 GT di Lingga dan Natuna yang bisa melaut sampai 20 mil. Apa mereka juga harus migrasi dan beli VMS? Jangan sembarangan membuat aturan tanpa melihat realita di lapangan,” tutup Distrawandi.
Tinggalkan Balasan