Ulasfakta.co – Belasan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Aksi Mahasiswa Kepulauan Riau menggelar unjuk rasa di halaman Markas Polresta Tanjungpinang, Selasa, 29 Juli 2025.

Mereka mendesak Satuan Reserse Kriminal untuk menindaklanjuti laporan dugaan pengeroyokan di Majesty KTV, Tanjungpinang Kota, yang terjadi pada Januari lalu.

Mahasiswa menilai proses penanganan kasus tersebut berjalan lambat. Mereka menuntut kejelasan atas laporan polisi yang telah dibuat korban, masing-masing tercatat dalam LP/4/1/2025/SPKT Polsek Tanjungpinang Kota dan LP/B/27/1/2025/SPKT Polresta Tanjungpinang, tertanggal 28 Januari dan 12 Februari 2025, atas nama Hartono dan Yani Safitri.

Koordinator GAM Kepri, Yogi Saputra, mempertanyakan alasan lambannya penyelidikan atas laporan tersebut. Ia menyebut, berdasarkan informasi yang diterima pihaknya, hasil penyidikan sudah rampung sejak Maret 2025. Namun hingga akhir Juli, belum ada kejelasan hukum.

“Hingga hari ini kami tidak tahu apakah kasus ini dilanjutkan, dihentikan, atau mandek di tengah jalan,” kata Yogi saat aksi berlangsung.

Lebih lanjut, Yogi menyayangkan sikap aparat penegak hukum yang justru menetapkan korban sebagai tersangka. Salah satu korban, Hartono alias Amiang, kini ditahan oleh Kejaksaan Negeri Tanjungpinang.

“Kami akan terus mengawal kasus ini sampai pelaku sebenarnya ditetapkan sebagai tersangka,” tegasnya.

Menanggapi tuntutan mahasiswa, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Tanjungpinang, AKP Agung Tri Poerbowo, menjelaskan bahwa pihaknya masih melakukan penyelidikan. Ia mengakui proses sempat terkendala karena sejumlah saksi tidak kooperatif.

“Sekitar enam orang saksi telah diperiksa. Saat ini kami sedang mempersiapkan rekonstruksi di tempat kejadian perkara,” ujar Agung kepada wartawan.

Menurut Agung, pihaknya telah memiliki cukup bukti untuk menetapkan satu tersangka. Ia menyatakan bahwa rekonstruksi menjadi langkah penting guna mempercepat pemberkasan dan memberikan kepastian hukum.

Dalam aksinya, mahasiswa juga menyoroti ketimpangan penegakan hukum dan menuntut evaluasi kinerja penyidik. Mereka membawa spanduk dan poster bertuliskan tuntutan terhadap kepolisian dan kejaksaan.

“Video rekaman CCTV menunjukkan kekerasan terhadap korban, tapi pelaku masih bebas. Ini mencederai rasa keadilan,” ujar salah satu orator.

Mahasiswa juga mengecam kriminalisasi terhadap korban. Mereka menilai penahanan terhadap Hartono dan rekannya, Lovikospanto alias Luku, yang hanya berusaha melerai, dilakukan sebelum berkas perkara dinyatakan lengkap (P21). Hal ini, menurut mereka, berpotensi melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan asas praduga tak bersalah.

Tak hanya itu, mereka menilai tak adanya penjelasan terbuka dari Polresta Tanjungpinang dan Kejaksaan Negeri mengenai dasar penahanan dan lambannya proses hukum memperkuat dugaan tidak adanya transparansi dalam penanganan perkara.

“Jika hukum tidak melindungi korban, maka kami hadir sebagai penjaga keadilan. Ini bukan hanya tentang HR dan YS, ini soal masa depan hukum yang bersih dan adil,” kata salah satu mahasiswa.

Dugaan pengeroyokan ini berawal dari insiden kecil di dalam lift KTV Majestic pada 28 Januari 2025 sekitar pukul 01.15 WIB. Saat itu, Yani Safitri secara tidak sengaja menginjak kaki salah satu pengunjung dan langsung meminta maaf. Namun peristiwa itu justru berujung pada pengeroyokan terhadap Yani dan rekannya, Hartono, oleh tujuh pria—baru satu di antaranya yang diketahui identitasnya.

Keesokan paginya, Hartono melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Tanjungpinang Kota. Laporan itu kemudian dilimpahkan ke Polresta pada 12 Februari. Namun pada hari yang sama, salah satu terduga pelaku, Hartono alias Acai, juga melaporkan balik Hartono (Amiang).

Anehnya, laporan dari pihak Acai diproses lebih cepat. Pada 28 Februari, kasus itu sudah naik ke tahap penyidikan. Sementara laporan dari korban berjalan lambat.

Puncaknya terjadi pada 22 April 2025, ketika Amiang dan Luku justru ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, menurut kuasa hukum, keduanya merupakan korban dan tidak terlibat dalam tindak pidana.

“Dari awal penanganannya sudah tidak berimbang. Klien kami adalah pelapor, tapi diproses sebagai pelaku. Bahkan yang mencoba melerai pun dijadikan tersangka. Di mana letak keadilan?” ujar pengacara Jhon Asron.