Ulasfakta – Rapat Paripurna DPRD Provinsi Kepulauan Riau yang membahas Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi terhadap Nota Keuangan dan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD-P) 2025 menyisakan tanda tanya besar, pada senin (25/8).

Seluruh anggota Fraksi PDIP kompak tidak hadir dalam sidang yang seharusnya menjadi forum penting dalam menentukan arah kebijakan anggaran provinsi.

Dari 45 anggota DPRD Kepri, hanya 33 orang yang tercatat hadir. Sebanyak 12 orang tidak hadir, dan uniknya di antaranya adalah legislator PDIP.

Ketidakhadiran kolektif satu fraksi penuh dalam sidang paripurna jarang terjadi, sehingga menimbulkan spekulasi adanya sikap politik yang disengaja.

Sinyal Politik di Balik Absen Kolektif

Dalam dinamika parlemen, walk out atau absen penuh fraksi dalam sidang penting biasanya bukan kebetulan. Ketidakhadiran semacam ini dapat dibaca sebagai:

Penolakan terhadap substansi APBD-P yang dinilai tidak berpihak pada rakyat atau tidak transparan.

Keberatan atas proses pembahasan, misalnya dianggap terlalu terburu-buru, tidak melibatkan fraksi tertentu, atau melanggar tata tertib DPRD.

Protes politik terhadap eksekutif atau pimpinan sidang. Absensi bisa menjadi cara PDIP menunjukkan ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah daerah maupun dinamika internal DPRD.

Strategi konsolidasi politik. PDIP mungkin ingin mengirim pesan kepada publik dan konstituen bahwa mereka konsisten menjaga sikap kritis, meskipun berisiko dianggap tidak kooperatif.

Seorang sumber internal DPRD yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa absennya PDIP kemungkinan terkait “ketidakpuasan mendalam” terhadap alokasi anggaran dalam APBD-P.

Namun, keterangan resmi dari Fraksi PDIP belum disampaikan hingga berita ini diturunkan.

Enam Fraksi Lain Setuju, PDIP Berbeda Arah

Menariknya, Meski tanpa kehadiran PDIP, enam fraksi lain tetap menyampaikan pandangan akhirnya. Fraksi Gerindra, melalui Sekretarisnya Andi S. Mukhtar, menegaskan menerima rancangan perubahan APBD-P dengan delapan catatan khusus yang disampaikan langsung kepada pimpinan DPRD dan Pemerintah Daerah.

Fraksi Golkar lewat Asmin Patros menyatakan hal serupa, menyetujui APBD-P sambil memberikan beberapa catatan teknis.

Fraksi Nasdem yang diwakili Suhadi menyoroti penurunan APBD-P sebesar Rp7 miliar. Nasdem mendorong agar pemerintah daerah lebih mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui inovasi, peningkatan kapasitas aparatur, dan manajemen belanja yang lebih efektif.

Fraksi PKS, melalui Ismiyati, memberikan catatan kritis terkait pola pemungutan PAD yang jangan sampai membebani masyarakat.

PKS juga meminta agar pergeseran anggaran benar-benar berdasarkan urgensi pembangunan serta menekankan pentingnya evaluasi terhadap kinerja BUMD Kepri.

Sementara itu, Fraksi Demokrat Nurani (gabungan Demokrat, Hanura, dan Perindo) serta Fraksi Amanat Nasional Kebangkitan Bangsa (gabungan PAN dan PKB) juga menyampaikan persetujuan dengan beberapa catatan internal.

Dengan demikian, meski tidak dihadiri Fraksi PDIP, mayoritas fraksi di DPRD Kepri sepakat menerima dan menyetujui Ranperda tentang Nota Keuangan dan Perubahan APBD-P 2025.

Implikasi Politik

Jika benar ketidakhadiran PDIP adalah bentuk sikap politik, maka langkah ini akan berdampak pada dinamika parlemen Kepri ke depan.

PDIP memang bukan fraksi dominan, tetapi absennya mereka secara kolektif memberi sinyal adanya friksi di tubuh DPRD maupun relasi dengan eksekutif.

“Ini bisa menjadi alarm politik. PDIP mungkin ingin menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar ikut arus mayoritas, tetapi memilih jalan berbeda. Publik harus mencermati, apakah sikap ini konsisten atau hanya manuver sesaat,” ujar Ketua Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.

Menunggu Penjelasan Resmi

Ketidakjelasan alasan absensi Fraksi PDIP dan membuat publik bertanya-tanya. Apakah ini murni masalah teknis, ataukah sebuah strategi politik yang sedang dimainkan?

Yang jelas, absennya PDIP di sidang penting APBD-P akan menjadi catatan tersendiri dalam perjalanan politik DPRD Kepri tahun ini.

Jika sikap ini berlanjut, tidak menutup kemungkinan hubungan legislatif-eksekutif akan semakin dinamis, bahkan berpotensi menimbulkan ketegangan politik baru di Kepri.