Modal Miliaran, Nol Dividen, Kinerja PT Pelabuhan Kepri Disorot

Ulasfakta – Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) memiliki 99,95 persen saham di PT Pelabuhan Kepri (BUP Kepri), senilai Rp48,326 miliar.

Dengan kepemilikan nyaris penuh dan modal sebesar itu, seharusnya pemerintah daerah menikmati hasil dari investasi strategis ini.

Namun yang terjadi justru sebaliknya: dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada satu rupiah pun dividen yang disetorkan ke kas daerah.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius mengenai efektivitas penyertaan modal daerah, serta membuka dugaan adanya persoalan dalam tata kelola keuangan BUMD tersebut.

“Komisi II DPRD Kepri sepakat akan memanggil tiga BUMD untuk membuka laporan neraca dan laba-rugi mereka. Kami ingin tahu target mereka, serta berapa dividen yang direncanakan untuk tahun ini dan tahun depan. Karena tahun kemarin, tidak ada sama sekali,” tegas Sekretaris Komisi II DPRD Kepri, Wahyu Wahyudin, pada Kamis (5/6).

Pemanggilan itu dilakukan sebagai bentuk evaluasi menyeluruh terhadap kinerja BUMD yang selama ini belum memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Padahal, sejak awal dibentuk, BUMD ditujukan sebagai motor penggerak ekonomi daerah dan penyumbang pendapatan non-pajak.

Potensi Besar, Performa Tak Terlihat

PT Pelabuhan Kepri bergerak di sektor pelabuhan dan logistik, sektor yang tergolong vital dan memiliki potensi besar dalam mendongkrak ekonomi kawasan.

Namun, ketiadaan dividen yang disetorkan bahkan hingga tahun 2024, serta target laba yang mendadak dinaikkan secara drastis pada tahun 2025, justru memunculkan dugaan adanya anomali dalam pengelolaan perusahaan.

Ironi ini kian kentara ketika dalam laporan keuangan tahun 2024, pendapatan bersih dari kerja sama jasa pelayanan kargo tercatat nihil.

Padahal di tahun sebelumnya, 2023, masih tercatat laba meski kecil, sebesar Rp33 juta. Apa yang sebenarnya terjadi di BUP Kepri?

Investasi Besar, Manfaat Masih Dipertanyakan

Penyertaan modal daerah hingga puluhan miliar seharusnya menjadi investasi jangka panjang yang menguntungkan. Sayangnya, yang terlihat justru sebaliknya.

BUMD ini tidak hanya gagal menghasilkan, tetapi juga menjadi beban daerah dengan kinerja yang stagnan dan minim transparansi.

“Kalau tidak ada dividen, lalu buat apa daerah investasi? BUMD seharusnya menjadi penyumbang PAD, bukan sekadar tempat parkir jabatan,” kritik pengamat kebijakan pemerintah, Wahyu Milsandi.

Minimnya keterbukaan laporan keuangan, tidak adanya roadmap bisnis yang jelas, serta lemahnya pengawasan internal memperparah persepsi publik terhadap BUMD tersebut.

Momentum Evaluasi dan Reformasi

Desakan untuk membuka laporan keuangan secara transparan, termasuk neraca dan proyeksi pendapatan, menjadi langkah awal penting untuk membenahi BUMD ini.

Komisi II DPRD Kepri menegaskan, pemanggilan bukan sekadar formalitas, melainkan langkah awal untuk mendorong reformasi manajemen yang lebih sehat dan akuntabel.

Dewan juga akan menggali lebih dalam soal alasan di balik nihilnya dividen, sekaligus menagih janji kinerja agar BUMD tidak hanya eksis di atas kertas, tetapi juga berkontribusi nyata bagi masyarakat dan kas daerah.

Tanpa perbaikan serius dalam tata kelola, transparansi, dan target kinerja yang realistis, BUP Kepri dikhawatirkan hanya akan menjadi simbol kegagalan investasi daerah, besar di modal, tapi kosong di hasil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *