Ulasfakta.co – Kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengelolaan dana Tour Wisata Mangrove Bintan terus bergulir di Pengadilan Negeri Tanjungpinang.
Pada Kamis (8/5/2025), sebanyak tujuh terdakwa menjalani sidang dengan agenda pemeriksaan, masing-masing didampingi penasihat hukum dari empat kantor pengacara berbeda.
Empat terdakwa, yakni Julpri Ardani (Camat Teluk Sebong), Mazlan (Kades Sebong Lagoi), Khairuddin (Lurah Kota Baru), dan La Anip (Kades Sebong Pereh), didampingi oleh Pindina Law Office & Partners yang dipimpin Sesa Praty Pindina, S.H., M.H.
Sementara itu, Sri Heny Utami (mantan Camat Teluk Sebong) didampingi Kantor Hukum Hendri Devitra & Rekan, Herika Silvia (mantan Camat Teluk Sebong) oleh Kantor Hukum Januarsyah dan Rekan, dan Herman Junaidi (Pj Kades Sebong Lagoi) oleh pengacara Rahmat Hidayat.
Ketujuh terdakwa menyampaikan penyesalan atas penerimaan dana kontribusi dari pengelolaan wisata mangrove. Mereka menegaskan bahwa dana tersebut digunakan untuk kegiatan sosial dan pembangunan, bukan untuk kepentingan pribadi.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Boy Syailendra, bersama anggota majelis Fausi dan Syaiful Arif, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Bintan, yakni Risyad Fallah Dwi Nugroho, Lunita Jawani, dan Maiman Limbong, mengajukan sejumlah pertanyaan mengenai penggunaan dana kontribusi yang tidak disertai laporan pertanggungjawaban (SPJ).
Herika Silvia mengaku menerima dana sebesar Rp25 juta yang digunakan untuk renovasi musala dan fasilitas kantor camat. Ia menyebut tidak ada permintaan SPJ saat dana diserahkan.
Herika juga menjelaskan bahwa dana diberikan setelah pembentukan Komite Pengawasan Wisata Mangrove atas inisiatif PT Bintan Resort Cakrawala (BRC).
Sri Heny Utami mengaku menerima dana sekitar Rp100 juta, berbeda dari dakwaan jaksa yang menyebutkan Rp460 juta. Dana digunakan untuk pembangunan fisik dan kegiatan sosial. Ia menyatakan bahwa penerimaan dana merupakan kekhilafannya sebagai pejabat publik.
Julpri Ardani membenarkan menerima sekitar Rp60 juta, meski dalam dakwaan disebutkan Rp148 juta. Ia mengatakan dana digunakan untuk operasional kecamatan dan pemberdayaan masyarakat.
Mazlan menerima sekitar Rp50 juta dan menyatakan dana digunakan untuk kegiatan sosial seperti pembagian sembako dan kegiatan budaya desa. Ia menyayangkan tidak adanya arahan soal pembuatan SPJ.
Herman Junaidi mengaku menerima sekitar Rp75 juta yang digunakan untuk kegiatan PKK, pembukaan lahan, dan bantuan sosial bagi lansia. Ia memohon keringanan hukuman mengingat tanggung jawab sebagai orang tua.
La Anip menyatakan menerima Rp85 juta yang digunakan untuk kebutuhan operasional desa dan bantuan banjir. Ia mengklaim masyarakat mengetahui dan tidak mempermasalahkan penggunaan dana tersebut.
Khairuddin menerima Rp89 juta dan menyerahkannya langsung ke Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) untuk dikelola. Menurutnya, dana tersebut dilaporkan secara rutin dalam forum desa.
Ketiga kepala desa, Mazlan, La Anip, dan Khairuddin, menambahkan bahwa tidak pernah ada keluhan dari masyarakat terkait penggunaan dana kontribusi tersebut.
Setelah mendengarkan keterangan para terdakwa, majelis hakim menunda persidangan hingga Kamis, 22 Mei 2025, untuk agenda pembacaan tuntutan.
Jaksa mendakwa ketujuh terdakwa melanggar Pasal 11 atau Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
(syh)