Ulasfakta – Tujuh terdakwa dalam kasus dugaan korupsi dana kontribusi wisata mangrove yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Tanjungpinang menyatakan penyesalan atas penerimaan dana tersebut. Mereka menegaskan dana itu tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
Para terdakwa terdiri dari mantan dan aktif pejabat di wilayah Teluk Sebong dan sekitarnya, yakni Herika Silvia (mantan Camat Teluk Sebong), Sri Heny Utami (mantan Camat Teluk Sebong), Julpri Ardani (Camat Teluk Sebong), Herman Junaidi (Pj Kades Sebong Lagoi), La Anip (Kades Sebong Pereh), Mazlan (Kades Sebong Lagoi), dan Khairuddin (Lurah Kota Baru).
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Boy Syailendra bersama dua anggota majelis, Fausi dan Syaiful Arif, berlangsung ketat dengan jaksa dari Kejari Bintan, Risyad Fallah Dwi Nugroho, Lunita Jawani, dan Maiman Limbong, yang mengajukan pertanyaan mendalam. Masing-masing terdakwa didampingi penasihat hukum dari beberapa kantor pengacara ternama.
Herika Silvia mengungkapkan bahwa dana sebesar Rp25 juta yang diterimanya digunakan untuk renovasi musala di kantor Camat Teluk Sebong, termasuk pemasangan tempat duduk, spandek, serta perbaikan tandon air. “Dana tersebut saya terima berdasarkan kwitansi tertanggal 6 Oktober 2025 dan dipergunakan untuk kebutuhan kecamatan,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa saat penyerahan uang tidak ada permintaan surat pertanggungjawaban (SPJ). “Menurut Machsun, bantuan ini diperuntukkan bagi masyarakat sehingga tidak diperlukan SPJ,” jelas Herika. Ia menegaskan tidak pernah menggunakan dana itu untuk kepentingan pribadi dan menyampaikan rasa penyesalan atas perkara ini.
Herika juga menjelaskan latar belakang pembentukan Komite Pengawasan Wisata Mangrove, yang diinisiasi PT Bintan Resort Cakrawala (BRC) melalui Sekretaris Komite, Machsun Asfari. Komite ini dibentuk untuk mengawasi pengelolaan wisata mangrove dan distribusi dana kontribusi.
Sri Heny Utami mengaku menerima dana sekitar Rp100 juta, namun membantah jumlah dalam dakwaan yang mencapai Rp460 juta. Dana tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan fisik dan sosial di wilayahnya, seperti semenisasi jalan, renovasi musala, serta penyelenggaraan acara peringatan kemerdekaan dan hari lingkungan.
“Semuanya untuk kepentingan masyarakat dan operasional komite. Tidak ada dana yang disalahgunakan untuk keperluan pribadi,” tegas Sri Heny, yang juga mengakui kelalaian dalam pengelolaan dana tersebut.
Julpri Ardani menyatakan menerima dana kontribusi kurang lebih Rp60 juta, yang kemudian disalurkan ke desa dan lurah dalam wilayah kecamatan. “Dana digunakan untuk pemberdayaan masyarakat dan operasional kecamatan, tanpa ada permintaan SPJ, tetapi kami siap membuatnya jika diperlukan,” katanya.
Sementara itu, Mazlan mengaku menerima dana Rp50 juta yang diberikan langsung oleh pihak keuangan PT BRC untuk operasional komite tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Ia menyesal perkara ini berujung di meja pengadilan meskipun dana dipergunakan untuk bantuan sosial dan kegiatan desa.
Herman Junaidi mengungkapkan dana sebesar Rp75 juta yang diterimanya digunakan untuk kegiatan sosial di Desa Sebong Lagoi, termasuk pembagian sembako dan dukungan kegiatan PKK.
La Anip dan Khairuddin juga menyampaikan hal serupa, mengaku menerima dana yang digunakan untuk pembelian sembako, penggajian tenaga untuk penanganan banjir, dan operasional komite. Khairuddin menambahkan dana tersebut dikelola oleh LPM dan diawasi secara rutin melalui laporan bulanan.
Hakim Boy kemudian menunda sidang hingga Kamis, 22 Mei 2025, untuk pembacaan tuntutan.
Jaksa menjerat ketujuh terdakwa dengan Pasal 11 dan Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2021, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 65 ayat (1) KUHP.