Pulau Rempang, bagian dari gugusan Kepulauan Riau, kinimenjadi pusat perhatian nasional akibat konflik yang menguras emosi masyarakat adat dan menguji keseriusan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang berkeadilan.
Proyek Rempang Eco City, sebuah ambisi besar untuk menjadikan Kawasan ini sebagai pusat investasi global, yang menjadi polemik sehingga membelah opini publik. Di satu sisi, proyek ini menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, namun di sisi lain masyarakat adat Melayu yang telah lama mendiami Rempang selama ratusan tahun merasa terancam kehilangan tanah leluhur, identitas budaya dan warisan sejarah mereka.
Konflik ini bukan hanya tentang relokasi maupun kompensasi, hal ini adalah perdebatan mendasar tentang kemana arah pembangunan Indonesia, apakah akan terus mengejar angka pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan hak masyarakat adat, ataukah akan mengadopsi pendekatan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan?
Proyek Rempang Eco City dirancang sebagai Kawasan industri, perdagangan dan pariwisata berkelas dunia. pemerintah berargumen bahwa proyek ini dapat menarik investasi besar, menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah internasional. Namun, pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan proyek ini seperti relokasi paksadan penggunaan kekuatan apparat terhadap masyarakat adat menimbulkan kritik tajam dari berbagai kalangan.
Profesor Eko Cahyono, seorang sosiologi pembangunan, menilai bahwa proyek ini mencerminkan pola lama pembangunan yang mengutamakan investor dari pada masyarakat lokal. “pendekatan top down seperti sering kali gagal karena mengabaikan partisipasi masyarakat adat yang seharusnya menjadi bagian integral dari proses pembangunan, mereka bukan hanya sebagai sekadar penghuni tanah, tetapi pemiliknya sejarah budaya dan identitas yang harus dihormati” ungkapnya
Pendapat ini juga diperkuat oleh Data Human Rights Watch (2023), yang menunjukkan bahwa proyek pembangunanberskala besar di Indonesia kerap kali mengorbankan hakmasyarakat adat.
Dalam banyak kasus yang terjadi, relokasi paksa tidak hanya menyebabkan trauma psikologis, tetapi juga kehilangan akses masyaralat terhadap sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup mereka. Mereka merasa terancam akan kehilangan tanah adat dan identitas budaya mereka akibatproyek ini.
Dampak Sosial Budaya yang Tidak Terhitung
Bagi masyarakat adat melayu, tanah di Pulau Rempangbukan hanya sekedar tempat tinggal. Tanah ini adalah simbolis entitas, warisan leluhur dan bagian integral dari kehidupan spiritual mereka. Pemindahan paksa berarti memutus hubungan mereka dengan akar budaya dan tradisi yang telah berlangsungselama ratusan tahun.
Budayawan melayu, Rida K Liamsi, menyoroti pentingnya tanah leluhur dalam kehidupan masyarakat adat. “Masyarakat adat tidak melihat tanah hanya sebagaia aset ekonomi, melainkan tanah adalah tempat mereka berakar, tempat tradisidan sejarah mereka hidup, kehilangan tanah berarti kehilanganjati diri”, ungkapnya dalam sebuah diskusi budaya.
Pendapat ini juga diperkuat oleh James C Scott dalamkaryanya Seeing Like a State, ia menyoroti bahaya pendekatan pembangunan yang terlalu mengandalkan kepentingan ekonomi tanpa memperhatikan kompleksitas sosial budaya. Pendekatan semacam ini sering kali gagal karena tidak memahami kebutuhan nyata masyarakat yang terkena dampaknya.
Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa pembangunan ekonomi memang penting untuk kemajuan bangsa. Namun, pembangunan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan hak-hak masyarakat adat dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Pemerintah seharusnya mengedepankan dialog dan musyawarah dengan masyarakat setempat untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.
Pembangunan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan secara seimbang. Dalam kasus yang terjadi di Pulau Rempang, pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat adar tidak hanya mendapatkan kompensasi yang layak, tetapi juga dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak merusak tatanan sosial dan budaya yang telahada.
Selain itu, pemerintah perlu menghormati hak-hak masyarakat adar yang telah diakui dalam berbagai peraturan per undang-undangan termasuk UUD 1945. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat adat harus menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan. Dengan demikian pembangunan dapat berjalan tanpa mengorbankan keberagaman budaya dan hak asasi manusia.
Pembangunan yang Berkeadilan
Konflik di Pulau Rempang harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengubah paradigma pembangunan. Pembangunan sejati bukan hanya soal angka investasi atau infrastruktur megah tetapi juga tentang kesejahteraan masyarakat lokal dan keberlanjutan budaya. Sebagai solusi pemerintah dapat mengadopsi pendekatan berbasis masyarakat, yang melibatkan masyarakat adat dalam setiap tahapperencanaan proyek.
Dialog yang partisipatif, transparansi dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat adalah kunci untuk menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Selain itu, kompensasi tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga dalam bentuk pelatihan, pendidikan dan akses terhadap peluang ekonomi yang setara harus menjadi bagian dari solusi. Pemerintah dapat memastikan bahwa masyarakat adat tetap memiliki hak atas pengelolaan sumber daya alam mereka, sehingga mereka tidak kehilangan kendali atas masa depan mereka.
Proyek Rempang Eco City mencerminkan dilema antara ambisi pembangunan ekonomi dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Meskipun proyek ini memiliki ptensiuntuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pendekatan yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan menggunakan kekerasan tidak dapat dibenarkan.
Pemerintah perlu mencarisolusi yang adil dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat adat dalam setiap tahap pembangunan. Hanya dengan demikian, pembangunan dapat membawa manfaat yang merata tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman budaya yang menjadi kekayaan bangsa.
Oleh
Rajabbul Amin, S.Sos
Aktivis Mahasiswa Kepulauan Riau
Mahasiswa Pascasarjana KPI UIN Sunan Kalijaga