Ulasfakta – Proyek reklamasi yang dilakukan PT Batamas di Pantai Teluk Tering, Kecamatan Bengkong, kembali menuai protes. Warga Bengkong Sadai menuding reklamasi tersebut menjadi penyebab banjir yang semakin parah dalam setahun terakhir, merendam ribuan rumah hingga setinggi dada.
Selain memicu banjir, reklamasi juga menyebabkan nelayan kehilangan wilayah tangkap, membuat konflik antar nelayan meningkat. Para nelayan menilai proyek ini telah menghancurkan ekosistem laut, sementara warga darat merasakan dampaknya dalam bentuk kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan.
Sungai Menyempit, Banjir Semakin Parah
Ketua RW 12 Kelurahan Nayon, Anwar Efendi Dalimunte, menjelaskan bahwa banjir besar yang terjadi bukan hanya merugikan secara materi, tetapi juga berdampak pada kesehatan warga, termasuk meningkatnya kasus diare.
“Dulu sungai ini luas, sekarang menyempit, dan anak sungai di belakang hampir hilang. Akibatnya, air yang seharusnya mengalir ke laut tertahan seperti bendungan saat hujan deras,” ujarnya, Rabu (26/2).
Menurut warga, reklamasi yang dilakukan PT Batamas telah mempersempit muara sungai, menghambat aliran air dari berbagai wilayah termasuk Batam Center. Akibatnya, saat hujan deras, air meluap dan menyebabkan banjir lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
Sebagai bentuk protes, warga memasang bendera di titik-titik yang menunjukkan area sungai yang tertimbun reklamasi. Mereka juga meminta pemerintah segera turun tangan sebelum situasi semakin memburuk.
“Kami ingin pemerintah serius menangani ini sebelum ada korban jiwa,” tegas Anwar.
Nelayan Merugi, Konflik Wilayah Tangkap Meningkat
Bukan hanya warga darat, nelayan di Bengkong juga terdampak parah akibat reklamasi ini. Ketua RW 3 Bengkong Kolam yang juga seorang nelayan, Romi, mengungkapkan bahwa lebih dari 70 nelayan kini kesulitan menangkap ikan akibat sedimentasi yang terjadi karena reklamasi tanpa tembok pembatas.
“Tanah reklamasi mengalir ke laut dan menyebabkan terumbu karang mati. Dulu, mencari ikan dan udang mudah, sekarang untuk mendapatkan satu kilogram udang saja sangat sulit,” keluhnya.
Konflik antar nelayan pun meningkat karena wilayah tangkap semakin sempit. Nelayan dari daerah lain kini masuk ke area mereka, menyebabkan perselisihan di laut semakin sering terjadi.
“Kami sering berselisih dengan nelayan dari seberang karena wilayah tangkap semakin terbatas. Kalau nanti area Costarina juga ikut ditimbun, habislah kami,” tambahnya.
Para nelayan sudah berulang kali menyampaikan keluhan ke pemerintah daerah, bahkan melapor ke Polda Kepri, tetapi belum ada tindakan nyata untuk menghentikan reklamasi atau memberikan solusi kepada nelayan yang terdampak.
Reklamasi Bermasalah, Aktivis Lingkungan Soroti Kerusakan Ekosistem
Pendiri NGO Akar Bhumi Indonesia, Hendrik, menilai bahwa reklamasi PT Batamas sarat masalah dan masih dalam sengketa lingkungan.
“Kami mendapat informasi ada penimbunan alur sungai, lalu kami cek langsung ke lokasi. Memang ada timbunan baru dan penyempitan sungai yang jelas berdampak pada banjir,” ungkap Hendrik.
Menurutnya, reklamasi yang dilakukan tanpa kajian lingkungan yang matang akan selalu menimbulkan kerusakan ekosistem dan dampak sosial yang luas.
“Banyak reklamasi di Batam dilakukan tanpa izin lingkungan yang jelas dan tanpa komunikasi dengan masyarakat terdampak. Kami menduga PT Batamas juga melakukan hal yang sama,” tegasnya.
Lima bulan lalu, timnya bersama ahli lingkungan melakukan rekayasa engineering dan menemukan bahwa wilayah yang ditimbun adalah ekosistem karang, habitat utama ikan.
“Lokasi ini bisa dibilang sebagai ‘kulkas nelayan’ yang kini tertutup sedimentasi akibat reklamasi,” katanya.
Meski perusahaan telah memasang batu penahan di sebagian area reklamasi, Hendrik menilai upaya ini tidak maksimal. Seharusnya, perusahaan menggunakan silt barricade untuk mencegah sedimentasi masuk ke laut.
“Reklamasi yang dilakukan pemerintah saja menggunakan silt barricade. Kenapa perusahaan swasta yang mencari keuntungan tidak menggunakan teknologi yang sama?” ujarnya.
Hingga kini, warga dan nelayan terus mendesak pemerintah dan DPRD Batam untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP). Namun, respons dari pihak berwenang masih minim, sementara dampak reklamasi semakin luas.
“Ini bukan sekadar bencana alam, tapi kesalahan manusia. Pemerintah dan perusahaan harus bertanggung jawab,” tutup Hendrik.